
Karena
itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam
jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan
kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai
ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap
makna kebahagiaan dan masa depan.
Adapun
Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat
jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan
makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam:
1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi
seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian iapun
mengikuti aturan yang ditetapkan Allah.
2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata oleh aqliyahnya
(bagaimana dia menjadikan ide-ide tertentu untuk pandangan hidupnya) dan
nafsiyahnya (dengan tolok ukur apa dan seberapa banyak dia berbuat dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan melampiaskan nalurinya).
3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan
adalah takwanya.
Melalui
cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah juga berkehendak memuliakan
manusia sebagai makhluk yang memang telah Allah ciptakan sebagai makhluk yang
mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sesuai yang
dikehendaki Allah, menyebabkan kedudukan manusia jatuh.
Pakaian
Bagi Seorang Muslimah
Adapun
pakaian yang dikenakan oleh seorang muslimah haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Rincian
masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda berdasarkan:
1. Keberadaan wanita di tempat umum atau di
tempat khusus.
2. Keberadaan wanita di hadapan mahram atau
bukan atau di hadapan suami atau bukan.
Penampilan
wanita dibedakan antara tempat khusus dan tempat umum. Misalnya di dalam rumah
sendiri seorang wanita boleh membuka jilbabnya dan hanya memakai mihnahnya,
kecuali jika ada tamu laki-laki non muhrim. Adapun di tempat umum penampilan
wanita dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Kewajiban menutup aurat, seluruh tubuh
kecuali muka dan telapak tangan.
b. Kewajiban menggunakan pakaian khusus di
kehidupan umum, yaitu kerudung (khimar)
dan jilbab (pakaian luar yang luas (seperti
jubah) yang menutup pakaian harian yang biasa dipakai wanita di dalam rumah (mihnah), yang terulur
langsung dari atas sampai ujung kaki.
c. Larangan tabarruj (menonjolkan keindahan bentuk tubuh,
kecantikan dan perhiasan di depan laki-laki non muhrim atau dalam kehidupan
umum).
d. Larangan tasyabbuh terhadap laki-laki.
Khusus
untuk wanita menopause diperbolehkan Allah untuk melepaskan
jilbabnya hanya saja tetap diperintahkan untuk tidak tabarruj, sehingga
diperbolehkan baginya menggunakan baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan
jilbab) model apa saja selama tidak menampakkan keindahan tubuhnya seperti baju
panjang atas bawah, kulot panjang dan lain-lain, Qs.
an-Nûr [24]: 60).
Pakaian
wanita di dalam rumahnya cukup menggunakan mihnah (kecuali ada tamu bukan
mahrom, maka wajib menutup aurat yang harus ditutup di hadapan bukan mahrom).
Di hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di tempat umum maka
harus memenuhi pakaian wanita di tempat umum), di hadapan suami tidak ada
keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).
Aurat
Wanita
Pembahasan
aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh
menampakkan seluruh bagian tubuhnya (berdasarkan hadits riwayat Bahz
bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya dan orang-orang yang
disebut dalam Qs. an-Nûr [24]: 31 dan Qs. an-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian
tertentu dari anggota tubuhnya yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya
dijadikan tempat perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher),
tempat gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat
gelang kaki (pergelangan kaki) sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak
ketika wanita memakai baju dalam rumah (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain
boleh tampak termasuk apabila ada hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat
yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan
mereka, kecuali…”
(Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan,
tetapi bukanlah perhiasan yang biasa dipakai orang tetapi makna zinah di sini
adalah anggota badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa
mâ zhahara minha yang
dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu
muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
1. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan
muhrimnya maka aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan.
Dasar dari
penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan,
yaitu:
“….dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Sedangkan
yang dimaksud dengan yang biasa nampak daripadanya adalah wajah dan telapak tangan.
Karena dua bagian ini yang biasa nampak dari wanita muslimah di hadapan Rasul
Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun dalam kehidupan sehari-hari di
luar sholat dan haji) dan Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran
masih turun. Tafsir mengenai hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yang dimaksud
dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan, juga dari Imam
Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan
“Pendapat yang paling kuat
dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa
nampak adalah muka dan telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
jld. 18, hal. 94). Hal tersebut diperkuat dengan sabda Rasul Saw kepada Asma’
binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita
yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.
Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No.
3580].
Qs.
an-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya
menyampaikan batasan aurat dan perintah memakai kerudung. Sedangkan kewajiban
berjilbab akan dibahas menyusul.
Adapun
berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya
syara’ tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutup aurat, tetapi hanya
memberikan beberapa syarat yaitu:
1. Pakaian itu tidak menampakkan aurat (dapat
menutup semua aurat).
2. Pakaian itu dapat menutup kulit, sehingga
tidak diketahui warna kulit dari wanita yang memakainya, yaitu apakah kulitnya
putih, merah, kuning, hitam dan lain-lain. Apabila tidak memenuhi syarat
tersebut tidak dapat diianggap sebagai penutup aurat. Jika pakaian itu tipis
misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan lain-lain,
sehingga kelihatan warna kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita
yang memakai pakaian tersebut dianggap auratnya tampak atau tidak menutupi
auratnya. Dalil bahwa syariat Islam telah mewajibkan menutup kulit sehingga
tidak tampak warna kulitnya adalah hadits yang diriwayatkan dari A’isyah ra,
beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah
Saw dengan memakai baju yang tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya dari
Asma’ dan bersabda:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita
yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini…”
[HR. Abu Dawud,
no. 3580].
Rasulullah
dalam hadits di atas menganggap baju yang tipis belum menutup aurat dan
menganggap auratnya terbuka, sehingga beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan
memerintahkan Asma’ untuk menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam
masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Usamah:
“Perintahkan isterimu untuk
mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) di bawah baju tipis tersebut.
Sesungguhnya aku takut wanita itu tersifati tulangnya.”
Rasulullah
Saw ketika mengetahui Usamah memakaikan pakaian tipis itu pada isterinya,
beliau menyuruhnya agar isterinya mengenakan pakaian tipis lagi di bawah
pakaian tipisnya itu. Dan Rasulullah memberi illat pada masalah itu dengan
sabdanya:
“Sesungguhnya aku takut wanita itu
tersifati tulangnya.”
Artinya
wanita harus menutup sifat dari tulangnya, tidak boleh menggunakan pakaian yang
tipis, sehingga kelihatan warna kulitnya.
Dengan
demikian wanita harus memperhatikan 2 syarat tersebut ketika memilih jenis dan
bahan pakaian penutup aurat termasuk penutup aurat di depan mahrom dan wanita
lain seperti celana 3/4 sampai lutut, daster dan lain-lain.
Hanya saja
apabila wanita selain yang menopause berada di luar rumah atau tempat-tempat umum
(masjid, pasar, jalanan dan lain-lain) maka selain batasan aurat dan larangan
tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya
kewajiban menggunakan pakaian khusus yang telah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) dan jilbab (jubah langsungan dari atas sampai
ujung kaki), bukan pakaian lain seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang
dan lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat tetapi bukan termasuk
jilbab, oleh karena itu jenis pakaian tersebut hanya bisa dipakai oleh wanita
yang sudah menopause dan sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. an-Nûr [24]: 60).
Untuk wanita menopause ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam
berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh karena itu celana
panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan sebagai
penutup aurat wanita menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan
dan perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang pakaian khusus di
kehidupan umum maka dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
Pakaian
Wanita di dalam Kehidupan Umum
Dalam
kehidupan umum, yaitu pada saat wanita berada di luar rumahnya/di hadapan
laki-laki non mahrom, maka seorang wanita harus menggunakan pakaian secara
sempurna, yakni:
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
1. Menutup aurat;
2. Menetapi jenis dan model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
3. Tidak tembus pandang;
4. Tidak menunjukkan bentuk dan lekuk tubuhnya;
5. Tidak tabarruj;
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki;
7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.
Dalil-dalil
mengenai masalah ini lihat lagi pembahasan di atas. Adapaun dalil lainnya
adalah sebagai berikut:
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub
(dada)-nya, dan janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
Kewajiban
menggunakan khumur muncul dari perintah dan hendaklah mereka menutupkan
khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.
Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yang menutupi kepala,
dan juyub adalah
jama’ dari kata jaibun yaitu ujung pakaian (kancing pembuka)
yang ada di sekitar leher dan di atas dada. Dengan kata lain khimar adalah kain
yang menutupi kepala tanpa menutupi wajah, terulur sampai sampai menutupi ujung
pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju di atas dada. Dengan demikian untuk
bagian atas badan wanita diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai
ujung pakaian (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan
menggunakan jilbab/jubah. Dalil kewajibannya adalah sebagai berikut: (1) ungkapan Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman
Allah SWT:
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
(2) Kebolehan menanggalkan pakaian luar (jilbab)
bagi wanita menopouse dengan ungkapantiadalah
atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr [24]: 60).
(3) Ungkapan salah seorang di antara kami tidak
mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Sebagimana dalam hadits dari Ummu ‘Athiyah ra. Berkata:
Rasulullah
memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, wanita yang sedang haid, wanita
pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri dan Adha. Maka bagi wanita yang
sedang haid janganlah sholat dan hendaklah menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum
muslimin. Saya berkata: “Ya
Rasulullah salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab”,
Rasulullah bersabda: “Hendaklah
saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].
Pada Qs.
al-Ahzab [33]: 59 dan
hadist dari Ummu ‘Athiyah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan muslimah
menggunakan sejenis pakaian yang disebut jilbab.
Memahami
Pengertian Jilbab
Kata
jilbab digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadits, namun maksud kata itu harus
dikembalikan pada maksud yang dipahami oleh masyarakat ketika kata itu
diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata jilbab (pada
nash tersebut): baju luar yang berfungsi menutupi tubuh dari atas sampai bawah
(tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab
bermakna:Pakaian yang
lebar bagi wanita, yang menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa
dipakai ketika berada di dalam rumah), bentuknya seperti malhafah (kain penutup
dari atas kepala sampai ke bawah). Demikian pula yang disebutkan
oleh al-Jauhari dalam kitab Ash
Shihah. Definisi jilbab ini juga tersirat dalam Qs.
an-Nûr [24]: 60 walaupun
pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.
Dari Qs.
an-Nûr [24]: 60 dapat
diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang sudah tidak mempunyai keinginan
seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (pakaian luarnya/jilbab), berarti
tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan untuk tidak menampakkan
kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan
menggunakan baju apa saja sejenis mihnah yang tidak menampakkan
kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang
dan lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk
tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab
bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause
telanjang. Berarti dapat dipahami pula bagi wanita yang belum menopause
diwajibkan untuk menggunakan tiga lapis/jenis pakaian ketika di hadapan
laki-laki non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan jilbab.
Adapun
Hadist dari Ummu ‘Athiyah menerangkan dengan jelas ketika wanita keluar
rumah/dihadapan laki-laki non mahrom diwajibkan menggunakan pakaian yang
dipakai di atas pakaian dalam rumah (mihnah),
sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah Saw: “Salah seorang dari kami tidak
mempunyai jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya
meminjamkan jilbabnya.” Artinya jika seseorang tidak mempunyai
jilbab dan saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar.
Inilah indikasi (qarinah)
bahwa perintah hadits tersebut adalah wajib. Dan jilbab yang dimaksudkan pada
hadist ini bukan sekedar penutup aurat tetapi sebagaimana yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh langsung
dari atas sampai bawah.
Pengertian
ini dapat ditemukan juga dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir
Jalalain, jld. III, hal. 1803) yang diartikan sebagai kain yang
dipakai seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Jilbab
selain harus luas dipersyaratkan harus diulurkan langsung ke bawah sampai
menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
abbas dan juga dapat dipahami dari nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan menunjuk
sebagian tetapi untuk
menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna
ila asfal (mengulurkan
sampai ke bawah/kedua kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung
ke bawah (tidak potong-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki
(bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menyeret pakaiannya
dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana
yang harus diperbuat para wanita terhadap ujung baju (jilbab) mereka?”
Rasulullah menjawab: “Hendaklah
mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “Kalau demikian terlihat kaki mereka.”
Rasulullah menjawab: “Hendaklah
mengulurkan bajunya sehasta dan jangan lebih dari itu.”
Dari sini
jelas bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian misalnya baju
potongan, tetapi diulurkannya langsung dari atas ke bawah. Selain itu
mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang
dari itu, oleh karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki dan
sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak
cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju sampai ke bawah).
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah adanya irkha’,
yaitu jilbab harus diulurkan sampai menutupi kedua telapak kaki sehingga dapat
diketahui dengan jelas bahwa baju itu adalah baju di kehidupan umum.
Apabila jilbabnya sudah terulur sampai ujung kaki tetapi jika berjalan kakinya
masih terlihat sedikit seperti ketika menerima tamu, berjalan di sekitar rumah,
maka hal ini tidak apa-apa walaupun tetap dianjurkan untuk ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya
saja apabila aktivitas wanita tersebut membuat kakinya banyak terlihat semisal
mengendarai sepeda, motor dan lain-lain maka diwajibkan untuk menggunakan
penutup kaki apa saja seperti kaos kaki, sepatu dan lain-lain.
Memahami
Pengertian Tabarruj
Tabarruj
telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala
kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah
terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah
atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud)
menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).
Pemahaman
dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan
mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian
luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.
Sedangkan
pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan,
kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan
agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya
wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang
“nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.
Orang tua
(menopouse)
boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain
jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di
kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja
dilarang untuk bertabarruj, makamafhum
muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang
untuk bertabarruj.
Ayat lain
yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).
Allah
dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki
sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu
perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut
telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan
tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.
Tabarruj
berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap
kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa
berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan
termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang
menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada
laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:
“Wanita yang memakai parfum, kemudian
melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya
maka berarti dia pezina.”
Diriwayatkan
pula dengan sabda Rasulullah Saw:
“Dua golongan penghuni neraka, saya
belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan
wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta,
maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.”
Kata telanjang,
berlenggak-lenggok dan seperti
punuk unta menunjukkan
arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti
bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna
menonjolkan perhiasan.
Adapun
mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama
belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum
asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.
Perhiasan
adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya
adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan
memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu
Umar: “Sesungguhnya Nabi
melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang
rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta
ditato.”
Walaupun
semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi
haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila
berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan
dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).